BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

16 Oktober 2008

BUKU HARIAN TUA

Ia terkejut.buku itu hilang, setelah belasan tahun tersembunyi dengan aman di antara tumpukan buku-buku tua, akhirnya ada yang mengetahui rahasiannya.siapakah yang menemukannya?
Apakah Saif?tidak mungkin.suaminya tidak pernah mebongkar barang-barang ini. Atau mungkin anak-anak?tidak juga. Mereka tidak pernah kemari. Ruangan ini hanya menyimpan barang-barang lama yang tidak bisa dibuang karena sayang.
Ia tidak mungkin menanyakannya. Buku itu buku hariannya sewaktu masih kuliah dulu. Suaminya tidak pernah tahu, ia selalu berhasil menutupinya. Ia tak ingin suaminya membacanya.

Dengan perasaan galau, ia membereskan kotak-kotak itu. Setiap kali ingin,ia selalu datang kemari untuk membacanya. Hanya untuk mengenang dan sekarang kenangannya hilang.

Bunga-bunga kesayangannya tumbuh dengan nyaman di halaman belakang. Pada bunga ia melihat bagaimana kehidupan berjalan. Sejak dari bibit sampai layu mengering, ia tak pernah menyingkirkan daun yang menua. Dibiarkannya sampai seluruh daun menguning dan akhirnya tanaman itu mati karena usia.
Apakah aku sudah berbuat baik selama ini?pikirnya. apakah aku membuat diriku dan oarang-orang yang mengenalku menjadi lebih baik? Mungkin bunga-bunga itu lebih baik dariku. Mereka memberikan kebijaksanaan bagi orang-orang yang memandangnya.

“sedang apa bunda?” anak gadisnya mengagetkan.
“Ah, tidak. Cuma melihat bunga. Cantik-cantik ya?”
“iya,tapi sudah tua.”
“sekarang memang sudah tua. Tapi dulu mereka juga pernah muda.”
“Bunda seperti sedang membicarakan manusia,” putrinya terkikik.
Ia ikut tertawa, “Bunga dan manusia kan hampir sama.”
Mereka asyik memandang hamparan bunga ketika putrinya berkata, “Bunda?”
“ya?”
“sebelum menikah dengan ayah,apa Bunda pernah menyukai seseorang?”
ia menoleh. “mengapa?” senyumnya
“Rahasia ya Bunda?” putrinya terlihat kecewa.
“tidak juga. Kamu ingin jawaban yang seperti apa?”
“kalau bukan rahasia, yang sebenarnya.”
“itu benar.”
“siapa, Bunda?”
“Teman sekolah.”
“seperti apa caranya?”
“Cuma sebelah hati kok.”putrinya terbelalak,” dia menolak Bunda?”
ia tertawa,”bukan begitu”
“karena Bunda merasa malu kalau sampai orang itu tahu. Kadang bunda merasa kalau dia tahu. Kalau sudah begitu, Bunda jadi takut. Bunda bhakan tidak mau lewat di depannya dan berusaha menjauhi tempat-tempat yang mungkin dia ada di sana.”
“Apa menyukai seseorang itu dosa, Bunda?”

“kemampuan hati untuk menyukai seseorang itu karunia. Karenanya ada hukum-hukum Tuhan yang harus di patuhi. Pergaulan bebas sama sekali tidak di perbolehkan. Dan yang terutama harus menjaga hati.”
“Bagaimana caranya, Bunda?”
“Akui saja kalau kamu memang suka, tapi simpan di hati, jangan biarkan dia tahu, dan jangan berbuat apapun yang membuat kamu tambah suka padanya. Kalau kamu tidak tahan dan ingin bercerita tentang dia pada orang lain, samarkan identitasnya.”

“Mengapa?”

“Supaya orang tidak menyebarkan gosip, supaya namamu dan nama orang yang kamu sukai terjaga. Kamu tidak akan tahu siapa dia dalam masa depanmu. Mungkin saja dia akan menjadi suami sahabatmu atau teman suamimu kelak. Coba bayangkan bagaimana perasaan sahabatmu atau suamimu kalau mereka mendengar tentang yang pernah terjadi, kacau kan jadinya?”
“Benar juga ya Bunda”
“Baik-bailah menjaga hati karena tidak mudah untuk mengendalikannya.”
“Kalau begitu pacaran itu tidak boleh, ya Bunda?”
“Menurut kamu pacaran itu apa?”
“seperti yang dilakukan orang-orang. Suka duduk berdua, kemana-mana berdua. Yang seperti itulah, Bunda”
ia tersenyum. “Kamu sudah tahu jawabannya.”
“Tidak boleh,”sahut putrinya pelan.
“Mengapa Bunda merasa kamu bertanya hanya untuk menegaskan saja?” ia mengerling.
Anak gadisnya tersipu, “Bunda tahu.”
“teman-teman mengatakan yang tidak pacaran itu kuper,” putrinya berkata lagi.
“kamu setuju dengan mereka?”
“Yasmin tidak suka dibilang kuper, tapi Yasmin juga tidak mau pacaran.”
“Mengapa?”
“Kan memang tidak boleh,Bunda. Kalau di pikir-pikir pacaran itu menyusahkan juga ya, kalau putus jadi patah hati.”
Menjadi manusia itu memang tidak mudah, sayang. Manusia yang baik harus punya prinsip yang baik. Jadi ia tidak mudah bingung kalau di sudutkan orang lain.
“Mereka juga bilang, kalau tidak pacaran tidak dapat suami.”
“kata siapa? Kalau sudah waktunya, dia pasti akan datang. Pacar belum tentu jadi suami.”
“Bagaimana dia datang Bunda?”
“Bisa lewat perantara, atau tiba-tiba datang melamar tanpa kamu duga.”
“Seperti Ayah dan Bunda?”
“Ya.”

Begitulah jalan yang di tempuh kehidupannya. Dan dia mensyukurinya seumur hidup. Ia tahu anak gadisnya mulai menyukai seseorang. Tapi ia tak mau menuduh. Biarlah putrinya menyimpan sendiri atau bercerita pada sahabatnya. Ia tahu, putrinya akan selalu datang padanya untuk pendapat nomer satu.
Sudah dua minggu berlalu, dan sepertinya buku hariannya akan hilang selamanya. Sampai suatu malam suaminya duduk di sampingnya dan mengangsurkan sebuah buku. Buku hariannya!
Ia terperanjat. Bagaimana bisa? Suaminya tersenyum.”Apa kamu kehilangan buku ini?”
“Kamu dapat dari mana?”ia menatap suaminya. Yang ditatap tetap tersenyum. “Tidak sengaja. Beberapa minggu lalu aku mencari buku lama di gudang dan menemukan buku ini. Aku heran karena tidak pernah melihatnya, lalu kubuka. Ternyata buku harianmu.”
“kamu membacanya?”ia sudah pasrah.
“aku minta maaf. Aku membacanya karena aku ingin memahamimu lebih baik, apa kamu marah?” Suaminya merasa bersalah.
Ia mencoba tersenyum. “Aku tidak marah, aku malu padamu.”
“Mengapa?”
“kamu jadi mengerti seperti apa aku sebelum kita menikah. Juga ada beberapa catatan yang bisa membuatmu cemburu, karena itu aku menyembunyikannya darimu.”
“Aku memilihmu karena aku percaya kamu akan selalu setia kepadaku, aku tidak memiliki hak atasmu sebelum kita menikah. Karena itu kamu bebas melakukan dan merasakan apa saja.”
“mengapa kamu mengatakan ‘bebas’ ?aku kan tidak pernah melakukan hal-hal yang tercela”protesnya.
“Aku tahu dan aku percaya kamu pandai menjaga diri, karena itu aku menyukaimu.”
Ia terdiam.”Kamu menyukaiku sebelum kita menikah?”
Suaminya tersenyum. “Kalau aku tidak menyukaimu,apa mungkin aku melamarmu?”
“sejak kapan?”
“Sepertinya sejak saat yang sama dengan ketika kamu mulai menyukaiku.” Ia terperangah, “Bagaimana kamu yakin?” “Aku ingin bertanya dulu. Orang yang di ceritakan dalam setengah bagian akhir buku harianmu itu aku kan?”
“Ya,” jawabnya tertunduk. Tiada rahasia lagi, justru bagian itu membuatnya paling malu. “Berarti benar, aku tidak menyangka kamu sangat menyukaiku sampai separuh buku harianmu habis untuk menulis tentang aku.”
Pipinya memerah. “Jangan meledek,aku jadi tambah malu.”
“Mengapa di halaman terakhir kamu menulis telah melepaskan aku?”
“Waktu itu aku sedang menjalankan program nekat pangkal iman, aku tidak akan melakukan apa pun yang menunjukkkan aku suka padamu. Aku putuskan tidak peduli padamu, dan pura-pura menganggapmu tidak ada. Aku ingin melihat takdir apa yang akan terjadi pada kita kalau aku tidak ikut campur.”
“Kamu berani sekali, kalau kita tidak pernah bertemu lagi bagaimana?”
“Berarti kita tidak di takdirkan untuk bersatu.”
“Apa kamu bersyukur kita akhirnya menikah?”
“Sangat. Waktu kamu datang memintaku, aku hampir tak percaya. Aku sudah menerima kenyataan kalau kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
“Memang waktu itu kita tidak pernah bicara ya?padahal kita satu fakultas.”
“Saif, kita memang tidak kenal, kita Cuma tahu.”
“Iya, kenal itu lain ya dengan tahu,” senyum suaminya. “Dulu sebenarnya aku ingin bisa bicara denganmu, tapi aku malu.”
“Aku kira lebih baik begitu, jadi kamu tidak akan melihat aku salah tingkah di depanmu.”
“Kamu dulu cuek sekali padaku.”
“Kamu tidak tahu, aku mengamatimu diam-diam, aku sudah senang hanya dengan mengetahui kamu melintas, aku tahu baju apa yang kamu pakai, aku bahkan bisa mengenalimu dari belakang.”
“Sangat perhatian,”suaminya tertawa.
“Tapi aku tidak hafal wajahmu. Kamu ingat yang kutulis sewaktu aku melihatmu di perpustakaan? Waktu itu aku ragu apa benar itu kamu.”
“Aku ingat, waktu itu aku memakai baju baru.”
“Lihat, kalau kamu memakai baju baru aku tidak bisa mengenalimu. Itu karena aku mengandalkan baju yang biasa kamu pakai.”
“Soalnya kamu minus.”
“Iya. Mataku tidak bisa melihat jauh, karena itu aku tidak pernah bisa melihat wajahmu dengan jelas, lagi pula kalau terlalu lama memperhatikanmu aku akan terancam bahaya.”
“Bahaya ketahuan?” suaminya menyeringai. “Kan tidak boleh terlalu lama.”ia lalu melanjutkan, “Tapi kadang-kadang aku bisa mengenalimu tanpa melihat wajahmu walaupun kamu memakai baju baru, tas baru dan sepatu baru, bahkan dari belakang sekalipun.”
“Ya, aku yakin itu kamu, dan ternyata itu benar.”
“Ketika itu aku sedang mencatat pengumuman, kan?”
“Hebat!”komentar suaminya.
“Besoknya aku melihatmu lagi dengan baju yang sama, tapi tasmu sudah berganti dengan tas yang biasa kamu pakai. Mungkin aku mengenali gelombang elektromagnetik yang kamu pendarkan.”
“itulah tanda bahwa kita berjodoh,”kata suaminya.
Ia merenung. “Barangkali dengan cara itu tuhan memberi tanda agar a ku menunggumu.” Suaminya tersenyum, ‘Sebenarnya dulu aku sering menyapamu dalam hati.” Apa hari itu kamu juga menyapaku diam-diam?
‘Tidak, hari itu aku tidak melihatmu.”
“Kebiasaan yang aneh, mengapa kamu bisa selucu itu?” ia tertawa.
“Kalau kamu mengatakan aku lucu, aku jadi ingat boneka beruang.” Mereka lalu tertawa bersama. Ia tidak mengira akan dapat selega ini setelah rahasianya terkuak. “Bagaimana bisa kamu menyembunyikan hal ini selama 16 tahun? Buku harian dan perasaanmu padaku sebelum kita menikah.”
“Ini perkara yang memalukan, bagaimana aku bisa membiarkan hal seperti ini tersingkap? Aku malu sekali dan merasa berdosa karena telah menyukai laki-laki asing. Aku percaya aku hanya boleh jatuh hati kepada satu orang. Dan orang itu harus menikah denganku terlebih dulu sebelum aku jatuh hati kepadanya.”
“Kamu tahu itu mustahil. Siapa yang bisa mengatur hati? Apa Cuma laki-laki yang mempunyai hak untuk menyukai? Bakhan Syaufa telah memilih Musa sebelum menikah seperti juga Fatimah telah memilih Ali.”
“Atau Khadijah memilih nabi Muhammad,”sambungnya.
“Atau Zulaikha terhadap nabi Yusuf, dapatkah kamu melihat kesamaanya?”
“kamu tahu aku tidak sekuat mereka. Dan aku tidak meu menjadi penggoda seperti Zulaikha.”
“Hm, penggoda seperti Zulaikha?bagaimana kamu akan melakukannya?
Ia memukul suaminya. “Berhenti, jangan buat aku bertambah malu.” Suaminya tergelak sementara wajahnya memerah jambu.
“Aku heran,”kata suaminya, “mengapa dalam buku harianmu tidak ada satu namapun yang tertulis?”
“Aku takut ada orang yang menemukan dan membacanya, lalu mengerti orang mana yang kumaksud.”
“Berarti kamu sadar suatu saat buku itu dapat diketahui orang lain?”
“Setidaknya orang tidak tahu siapa yang kutulis. Jadi, aku tidak benar-benar malu.”
“Bahkan namakupun tidak,” suaminya pura-pura sedih.
“Aku bisa menulisnya sekarang kalau kamu mau,”tawarnya manis.
“Tidak. Aku lebih suka hanya kita berdua yang tahu,” suaminya tersenyum. “Apakah akan ada rahasia lagi setelah ini?”
”Ya,”jawabnya.
“Sebutkan dulu alasannya.”
“Pertama, kalau orang memercayakannya ceritanya hanya untukku. Kedua, kalau suatu hal bisa membuat kita saling membenci.”
“Aku terima.”

Mereka berjabat tangan. Seperti dua sahabat kecil yang sama-sama senang karena tidak saling menipu.
Menjelang tidur suaminya bertanya, “Apakah kamu pernah berharap aku menemukan buku harianmu?”
Ia tertegun. Benarkah demikian?


Roy Dwi Utami
Pemenang hadiah hiburan lomba cerpen majalah ummi 2007

1 Comment:

  1. Nunung Mulyani said...
    wah boleh juga tuh cerpennya... keren oiiii menyentuh banged :)

Post a Comment